Ditinjau dari optik keagamaan, haji dapat kita dipahami dari beberapa aspek seperti aspek ibadah, ekonomi, sosial, sejarah dan lain sebagainya. Pertama, tinjauan dari aspek ibadah, haji termasuk pengetahuan fundamental umat beragama Islam, “Islam dibangun atas lima dasar: bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunuaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, aspek ekonomi. Tahun 2023 terdapat penyesuaian anggaran haji yang semula 39,8 juta menjadi 49.812.700,26 , maka ibadah haji adalah satu bentuk ibadah yang memerlukan pengeluaran keuangan yang cukup besar, berbeda dengan peribadahan lainnya.
Ketiga, aspek sosial. Lingkup inilah yang akan penulis bahas secara spesifik, sebab gelar yang didapat setelah haji sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial misalnya ; ajang flexing, ada penghormatan khusus, dan status sosial. Keempat, aspek historitas/sejarah. Haji memiliki sejarah yang sangat panjang, mulai dari proses perjalanannya yang kian berkembang hingga munculnya tradisi-tradisi sebelum dan sesudah pelaksanaan ibadah haji.
Dalam kehidupan sosial, baik pejabat, tokoh masyarakat, pengusaha, bahkan alim ulama sangat antusias untuk melaksanakan ibadah haji meski biaya yang dikeluarkan cukup mahal. Namun, yang menjadi persoalan disini ketika halnya seseorang yang sudah menunaikan ibadah haji merasa tersinggung jika gelar haji tidak di sebutkan atau dicantumkan depan nama. Hal seperti itu menunjukkan bahwa melaksanakan haji bukan semata niat beribadah tetapi ada nilai eksistensi keberagamaan dan riya yang terselubung. Dalam arti terdapat nilai-nilai yang keluar dari hakikat atau koridor keberagamaan. Layaknya pubertas agama, jika ibadah masih membutuhkan eksistensi atau pengakuan dari orang lain maka dapat dengan mudah keberagamaan seseorang itu terukur. Disisi lain agama tidak menghendaki adanya keriyaan dalam beribadah, perihal haji mungkin berbeda dengan sedekah yang harus memberi stimulus “fastabikul khoirot”, berhaji harus benar-benar mampu lahir bathin bukan sekedar hasil stimulus orang lain.
Hal ini pun seringkali terjadi di wilayah pemerintahan, beberapa pejabat mengharuskan penyematan ‘H.” atau “Hj.” di bagian nama jelas tandatangan dan profile. Padahal jika di analisa lebih mendalam bahkan H/Hj tidak termasuk gelar akademik yang memiliki korelasi dengan golongan kepangkatannya, H/Hj hanya sebutan secara pribadi saja sebagai bentuk penghargaan, bukan sebuah kewajiban agar dihormati. Yang harus dimunculkan sebelum dan sesudah haji adalah perbedaan berperilaku dan beribadah, setelah melakukan ibadah haji seseorang diharapkan menjadi teladan yang baik dan mampu meningkatkan ketaqwaan. Soal pengakuan dari orang lain itu menjadi hal nomor sekian untuk dipertimbangkan.
Penyematan gelar haji jika dilihat dari sosio-historisitas berkaitan erat dengan masa pemberontakan kolonialisme, yang mana gelar haji mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat, kewibawaan, ketaqwaan dan keilmuan sehingga hal tersebut dapat mengintimidasi kelompok kolonial. Bahkan untuk mencari pemberontak kolonialisme, mereka cukup mencari seseorang yang memiliki gelar haji. Kementerian Agama melalui kegiatan ngaji manuskrip kuno nusantara secara luas menjelaskan sejarah haji nusantara mulai dari teori hingga edukasi.
Berdasarkan studi komparasi terkait gelar haji di negara lain, terdapat 2 negara yang memiliki kesamaan dalam hal penyematan haji yakni Malaysia dan Brunei Darussalam. Meski ada beberapa negara melayu lainnya yang berketentuan sama, tetapi tetap saja tidak sekuat ketentuan di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Yang mana ketiga negara tersebut memiliki historisitas masing-masing.
Selain eksistensi dalam soal penyematan gelar, eksistensi melalui foto dan video di media sosial pun sangat trendi bahkan beberapa diantaranya dapat dikatakan lebih antusias berfoto dibanding ibadah, haji menjadi ajang pendapatan adsense via konten. Hal ini jelas sudah keluar dari hakikat tujuan beribadah haji. Tingginya biaya perjalanan ibadah haji (BIPIH) sebenarnya memberi dampak negative dan positif bagi masyarakat, disatu sisi menguji usaha serta kemampuan lahir bathin seseorang untuk menunaikan rukun Islam kelima, disisi lain menjadi stimulus keriyaan bahwa seseorang mampu membayar BIPIH tersebut. Ada dua konteks yang berbeda, pertama tertuju pada ibadah; kedua tertuju pada biaya ibadah tersebut. Padahal apabila ditinjau lebih jauh, kaya atau tidaknya seseorang tidak dapat ditunjukkan melalui gelar haji. Adapun gelar haji yang diberikan orang lain tanpa adanya permintaan khusus, maka hal demikian tidak diperdebatkan.
Sebagai penutup, penulis mengajak kepada semua umat Islam agar berlaku sewajarnya baik dalam proses atau pun pasca pelaksanaan ibadah haji sebab sebaik-baiknya haji adalah mereka yang tergolong haji mabrur;
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Tidak ada balasan (yang layak) bagi jamaah haji mabrur selain surga,” (HR Bukhari)
Penulis : Wifa Lutfiani Tsani, M.HI Dosen Fakultas Syriah Institut Agama Islam Darusalam (IAID) Cimais