Istilah pubertas agama seringkali menjadi perbincangan hangat dalam diskusi mahasiswa. Sudah sejak dahulu agama menjadi isu yang paling menarik untuk dibicarakan, meski terkadang sensitifitas agama jauh lebih kuat dibanding isu-isu lain. Sisi positif dan negatif pubertas agama tentunya selalu berjalan beriringan, disatu sisi pubertas agama dinilai sebagai langkah atau gerbang menuju kebaikan namun disisi lain pubertas agama menjadi boomerang bagi keberagamaan seseorang. Penyakit dari pubertas agama itu sendiri banyak ditemui di kalangan remaja terutama perempuan patah hati dan perempuan mapan yang berada di tahap penantian jodoh. Hal ini berdasarkan analisis penulis dengan melihat fakta disekelilingnya.
Dewasa ini hijrah menjadi fenomena yang menarik di kalangan remaja, jika tidak diarahkan dengan benar hijrah inilah yang akan mengantarkan pada penyakit pubertas agama. Sebagian besar perempuan patah hati cenderung memilih jalan untuk berhijrah, berusaha memperbaiki diri demi menemukan pengganti yang lebih baik dari laki-laki sebelumnya. Pada hakikatnya dalam Islam tidak mengenal pacaran, Islam hanya menganjurkan ta’aruf sebagai langkah perkenalan menuju hubungan yang lebih serius.
Fenomena hijrah yang semakin mewabah di kalangan remaja menjadi perhatian baru untuk ditelaah seberapa matang mereka dalam beragama. Apabila seseorang baru saja mengenal agama, maka perlu adanya pendampingan khusus untuk membimbing pendalaman agama sehingga ilmu yang diterima sesuai dengan apa yang semestinya. Karena, pubertas agama seringkali bermuara pada pemahaman radikal.
Ibarat seseorang yang baru saja menginjak masa remaja, mereka memiliki sisi eksternal pubertas yaitu dengan mencari jati diri dan berusaha menunjukkan eksistensi sebagai seseorang yang bangga akan label “remaja”. Begitu juga halnya seseorang yang baru mengenal agama, dalam keberagamaannya mereka masih butuh eksistensi atau pengakuan dari orang lain, bahkan sesekali berusaha memberi petuah agama yang isinyapun belum tentu dianalisis secara holistic. Namun, lagi-lagi penulis menekankan bahwa bukan berarti seseorang yang baru beragama itu buruk akan tetapi sebagian besar yang terlihat dipermukaan masih harus banyak mengevaluasi cara dan model keberagamaannya.
Menurut Ibnu Rusyd, daya serap terhadap nilai keagamaan setiap orang bergantung pada fitrah dan intelek yang dimiliki, pun hal itu erat kaitannya dengan tingkat pemahaman keberagamaan. Ibnu Rusyd mengklasifikasikannya menjadi 3 golongan, diantaranya :
Pertama, Khatabiyun (golongan retorik). Golongan ini termasuk golongan dengan daya serap yang lemah atau awam, harus adanya bimbingan, tuntunan dan banyak dibekali ceramah.
Kedua, Jadaliyun (golongan dialektis). Golongan jadaliyun menempati tingkat lebih tinggi dibanding golongan khatabiyun, metode penalaran tidak berhenti pada pemahaman makna. Golongan jadaliyun melakukan takwil terhadap sumber-sumber yang sukar untuk dipahami secara lahiriyah atau rasional.
Ketiga, Burhaniyun (golongan demonstratif). Pada tingkat ini, metode penalaran seseorang sudah berada di wilayah puncak berpikir. Golongan burhaniyun mampu menangkap nilai agama lebih luas dan mendalam.
Dalam Islam, sumber hukum dan kajian agama sangatlah beragam seperti Al-Quran, hadist, kitab kuning, ijtihad ulama, buku dan lain sebagainya. Bagi seseorang yang baru mengenal agama harus menelaah dan mengkaji agama dari sumber secara keseluruhan, sejatinya ilmu agama tidaklah cukup hanya didapat dari beberapa halaman buku saja. Dalam Islam terdapat ilmu fikih, nahwu, shorof, dan lain sebagainya, semua memiliki keterkaitan dengan dasar implementasi beragama. Sebagai contoh metode penelitian hukum Islam berdasarkan ilmu fikih, pisau analisis kajian dapat dilihat dari banyak aspek seperti Maqosidhu Syari’ah, Nasikh Mansukh, Urf, Saddudz Dzari’ah, istishab dan lain sebagainya. Jiwa critical thinking harus tumbuh beriringan sejak seseorang mulai berhijrah.
Menyoal hijrah pun hari ini terdapat pergeseran pengertian, hijrah saat ini berbeda dengan hijrah pada zaman Nabi Muhammad SAW. Saat ini hijrah dikenal sebagai proses peralihan dari sosok yang kurang baik menjadi lebih baik. Sedangkan dahulu, istilah hijrah adalah perpindahan dari satu wilayah ke wilayah lain, bukan menyoal pribadi orang yang berhijrah. Eratnya korelasi antara hijrah, remaja dan pubertas agama harus menjadi perhatian penting bagi para pemangku kepentingan dalam lingkup agama agar tidak terjadi fanatism atau radikalism beragama.
Penulis : Wifa Lutfiani Tsani, M.HI Dosen Fakultas Syriah Institut Agama Islam Darusalam (IAID) Cimais.