BANDUNG.TADZKIROH.COM – Setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “ Wali Mujbir Batas Usia Minimal dan Saksi Dalam Perkawinan” atas Kritik Hukum Islam terhadap Conter Legal Draf (CLD) Kompilasi Hukum Islam, dengan pembimbing dan promotor, Prof. Dr. H. Nurol Aen, MA, Prof. Dr. H. Tajul Aripin. MA, Dr. H. Syahrul Anwar. M. Ag.
H. Ujang Sutaryat, M.Ag, yang saat ini menjabat Kepala Seksi Urusan Haji dan Umrah Kantor Kemenag Kab. Pangandaran, Rabu (4/7/2019) bertempat di gedung paska sarjana kampus II Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung mendapat gelar tertinggi akdemik di bidang hukum islam.
Dengan demikian Kasi PHU menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ketiga yang bergelar doktor di Kementerian Agama (Kemenag) Kab. Pangandaran yang baru berusia 4 tahun. Laki-laki yang gemar membaca ini lahir di Bandung tahun 1973, dirinya berhasil menyelesaikan studi S3 pada Program Studi Hukum Islam di UIN Sunan Gunung Djati Bandung sejak tahun 2014 dan mampu meraih predikat memuaskan dengan index kumulatif 3,73 lolos menjadi doktor yang ke 392 yang berhasil diluluskan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Didunia pekerjaannya sebagai abdi Negara, H. Ujang Sutaryat, mengalami banyak pengalaman riwayat pekerjaan, sejak diangkat menjadi PNS dirinya sempat menjadi petugas Pencatat Perkawinan (PPN) di berbagai Kecamatan di Pangandaran seperti KUA. Pangandaran, Sidamulih, Langkaplancar dan sekarang menjabat Kasi Penyelenggara Haji dan Umrah Kemenag Kab. Pangandaran sejak awal tahun 2018 selain itu juga aktif di berbagai organisasi keagamaan dan sosial.
Menurut, H. Ujang, pemilihan judul disertasinya “Wali Mujbir Batas Usia Minimal dan Saksi Dalam Perkawinan” merupakan sebuah kritik hukum Islam terhadap Conter Legal Draf (CLD)- Kompilasi Hukum Islam (KHI), dari penelitaiannya itu dirinya mengkaji tentang bagaimana konsep Wali mujbir, perbedaan konsep batas usia minimal dalam perkawinan dan perbedaan konsep saksi dalam perkawinan UUP, KHI dan CLD-KHI serta pandangan filsafat hukum Islam tentang perkawinan.
Dari pantauan Inmas Kemenag saat mengikuti ujian promosi doktornya pemilihan judul disertasi tersebut dilatarbelakangi dari hasil pemikiran para tim penggagas Pengarus Utamakan Gender (PUG) terkait Conter Legal Draf (CLD-KHI) yang dinilai ada sebagain pemahaman yang telah jauh dari konteks syari yang sudah digariskan dengan tegas dalam Al Qur’an dan Hadist.
Secara garis besarnya naskah CLD-KHI menawarkan ketentuan agenda pembaruan hukum keluarga Islam yang secara prinsip berbeda dengan ketentuan hukum keluarga sebelumnya yang dikemas dalam KHI, diketahui Tim CLD-KHI dalam naskah tandingannya itu menawarkan pemikiran-pemikiran baru salah satunya dalam masalah perkawinan.
Yang menarik dalam CLD-KHI terdapat pasal-pasal yang cenderung membongkar pemahaman fikih umat Islam di Indonesia yang telah lama dianut misalnya tergambar dalam CLD-KHI tentang status wali mujbir, konsep batasan usia minimal dan seorang saksi dalam pernikahan yang menjadi fokus utama desertasinya.
“Undang-undang perkawinan yang di perinci oleh KHI telah menetapkan wali dan dua orang saksi laki-laki sebagai salah satu rukun nikah serta batasan usia minimal perkawinan yaitu 16 tahun bagi seorang istri dan 19 tahun bagi calon suami, sedangkan dalam CLD-KHI yang kental dengan ide-ide demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender lebih khusus dalam perkawinan memegang prinsip kerelaan, kesetaraan, keadilan, kemaslahatan, pluralisme dan demokrasi yang mengatakan bahwa wali tidak termasuk rukun nikah, saksi boleh dari kalangan perempuan dan batas usia minimal dalam perkawinan adalah sama bagi calon istri dan calon suami yaitu 19 tahun” terangnya saat ditanya oleh salah satu promotor sewaktu ujian.
CLD-KHI dinilai telah berhasil mengklarifikasi beberapa kekeliruan dan salah tafsir terhadap gagasan dan pemikiran tentang institusi perkawinan, maka dapat disimpulkan pertama perbedaan konsep Wali mujbir dalam perkawinan menurut UUP dan KHI adalah bahwa secara tersurat konsep itu tidak diatur dalam UUP begitu juga dalam KHI, namun dalam masalah perwalian secara umum eksitensi wali mujbir masih berlaku dengan segala ketentuan pemberlakuannya yang sangat ketat, maka urgensi wali mujbir keberadaannya dalam pernikahan merupakan rukun nikah yang tidak bisa ditinggalkan, sedangkan dalam CLD-KHI sangat menentang keberadaan wali mujbir karena sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip mereka dalam penetapan hukum. Itulah salah satu dari 4 poin penting hasil penelitian dan pembahasan dalam desertasinya. (Andri Nazarusin M)